Java Zone

Pemrograman java, Perulangan Java, Operator java, Thread Java, Makalah Filsafat Ilmu, Makalah Teologi dan lain lain

Powered by Blogger.

MAKALAH FILSAFAT ILMU: HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM


 

BAB I

PENDAHULUAN


 

  1. Latar Belakang Masalah


     

Banyak orang berasumsi bahkan berkesimpulan bahwa sains hanya untuk sains. Sains itu netral dan tak pernah ada sains yang ditunggangi ideologi, kepercayaan atau agama tertentu. Maka banyak orang yang berpendapat bahwa istilah "sains Islam" itu hanya isapan jempol dan ilusi belaka. Bahkan, upaya-upaya islamisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh beberapa kalangan selama ini hanya khayalan belaka dan lebih ke arah justifikasi sains dengan dalil-dalil agama.

Itulah beberapa kecurigaan umum yang terjadi di kalangan beberapa sarjana belakangan. Namun, sebelum kita terburu-buru berkesimpulan seperti di atas, ada baiknya kita mencoba kroscek lagi, apa betul sains itu netral, apa memang dalam Islam tidak ada sains?

Hubungan antara sains dan agama  kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir, dan pembentukan kuliah-kuliah akademik tentang sains dan Islam merupakan petunjuk kuat tentang hal tersebut. Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk mengkaji hubungan sains dan Islam, yakni dari sisi pandangan konflik, independensi, dialog, dan integrasi.


 

            Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut:

  Pandangan Islam terhadap sains dan teknologi.

  Tipologi hubungan sains dan teknologi.

  Penciptaan alam semesta dalam hubungan sains dan Islam.


Pertemuan Iman dengan sains.


Metode mendamaikan antara Islam dengan sains modern.


 

C.    Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu :

  Mahasiswa mampu menjelaskan Pandangan Islam terhadap sains dan teknologi.

  Mahasiswa mampu menjelaskan Tipologi hubungan sains dan teknologi.

  Mampu menerangkan Tipologi hubungan sains dan teknologi.

  Menjelaskan Penciptaan alam semesta dalam hubungan sains dan Islam.

  Menjelaskan Pertemuan Iman dengan sains.

  Menjelaskan Metode mendamaikan antara Islam dengan sains modern.


 

D.    Metode Penulisan

            Metode yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan yaitu memberikan gambaran tentang materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan melalui literatur buku-buku yang tersedia, tidak lupa juga penulis ambil sedikit dari media massa/internet. Dan diskusi mengenai masalah yang dibahas dengan teman-teman.


 

BAB II

PEMBAHASAN


 


 


 

Islam memiliki kepedulian dan perhatian penuh kepada ummatnya agar terus berproses untuk menggali potensi-potensi alam dan lingkungan menjadi sentrum peradaban yang gemilang. Dalam konteks ini, tidak ada pertentangan antara sains dan Islam, dimana keduanya berjalan seimbang dan selaras untuk menciptakan khazanah keilmuan dan peradaban manusia yang lebih baik dari sebelumnya.

Pandangan Islam terhadap sains dan teknologi adalah bahwa Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Justru Islam sangat mendukung umatnya untuk melakukan penelitian dan bereksperimen dalam hal apapun, termasuk sains dan teknologi. Bagi Islam, sains dan teknologi adalah termasuk ayat-ayat Allah yang perlu digali dan dicari keberadaannya. Ayat-ayat Allah yang tersebar di alam semesta ini merupakan anugerah bagi manusia sebagai khalifatullah di bumi untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Pandangan Islam tentang sains dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)

Artinya:"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Isra: 1-5).


 

Ayat lain yang mendukung pengembangan sains adalah firman Allah Swt. yang berbunyi bahwa:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ (١٩٠)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١)

Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-si. Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. QS. Ali-Imran: 190-191).


 

Ayat-ayat di atas adalah sebuah support yang Allah berikan kepada hambanya untuk terus menggali dan memperhatikan apa-apa yang ada di alam semesta ini. Sebuah anjuran yang tidak boleh kita abaikan untuk bersama-sama melakukan penggalian keilmuan yang lebih progresif sehingga mencapai puncak keilmuan yang dikehendaki Tuhan. Tak heran, kalu seorang ahli sains Barat, Maurice Bucaile, setelah ia melakukan penelitian terhadap Alquran dan Bibel dari sudut pandang sains modern, menyatakan bahwa:

"Saya menyelidiki keserasian teks Qur'an dengan sains modern secara objektif dan tanpa prasangka. Mula-mula saya mengerti, dengan membaca terjemahan, bahwa Qur'an menyebutkan bermacam-macam fenomena alamiah, tetapi dengan membaca terjemahan itu saya hanya memperoleh pengetahuan yang ringkas. Dengan membaca teks arab secara teliti sekali saya dapat menemukan catatan yang membuktikan bahwa Alquran tidak mengandung sesuatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiah di zaman modern". [2]


 

Selain banyak memuat tentang pentingnya pengembangan sains, Alquran juga dapat dijadikan sebagai inspirasi ilmu dan pengembangan wawasan berpikir sehingga mampu menciptakan sesuatu yang baru dalam kehidupan. Hanya saja, untuk menemukan hal tersebut, dibutuhkan kemampuan untuk menggalinya secara lebih mendalam agar potensi alamiah yang diberikan Tuhan dapat memberikan kemaslahatan sepenuhnya bagi keselarasan alam dan manusia. [3]

Lebih jauh Osman Bakar mengungkapkan bahwa dalam Islam, kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber dari semangat Ilmiah dalam sluruh wilayah pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi intelektual Islam tidak menerima gagasan bahwa hanya ilmu alam yang ilmiah atau lebih ilmiah dari ilmu-ilmu lainnya. Demikian pula, gagasan objektivitas dalam kegiatan ilmiah menurutnya tidak dapat dipisahkan dari kesadaran religius dan spiritual. [4]

Kendati demikian, Alquran bukanlah kitab sains dan terlebih lagi pada pendekatan Bucaillisme melekat bahaya besar. Yaitu meletakkan sains ke dalam bidang suci dan membuat wahyu Ilahi menjadi objek pembuktian sains Barat. Jika suatu teori tertentu yang "dibenarkan" Alquran dan diterima luas saat ini, kemudian satu ketika teori ini digugurkan, apakah itu berarti bahwa Alquran itu sah hari ini dan tidak sah hari esok? Yang tepat dilakukan ilmuwan muslim adalah memposisikan Alquran sebagai petunjuk dan motivasi untuk menemukan dan mengembangkan sains dan teknologi dengan ilmiah, benar dan baik. [5]


 

B.    TIPOLOGI HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM


 

Dalam kutipan Wahyu Nugroho, Gregory R. Peterson mencatat beberapa lembaga, penerbitan, seminar dan konferensi yang diidentifikasi sebagai upaya membangun model hubungan antara agama dan sains yang ideal dan ramai di pasaran, seperti tulisan Ian G. Barbour lewat karyanya, Religion in an Age of Science (1990), Nacey Murphy, Theology in the Age of Scientific Reasoning (1990), Philip Hefner, The Human Factor (1993), Arthur Peacock, Theology for a Scientific Age  (1993), dan lainnya. [6]

Di Indonesia, kajian dan pandangan tentang Integrasi Sains dan Islam dalam berbagai interdisiplin keilmuan masih marak dibicarakan para tokoh pendidikan. Oleh karena demikian, maka berbagai universitas mencoba memberikan perhatian khusus pada bidang kajian integrasi sains dan Islam ini. Salah satunya Universitas Brawijaya Malang telah membuka Program Studi Magister Kajian Integrasi Sains dan Islam (INSANI), dimana visi utamanya adalah menjadi  tempat  kajian  interdisiplin  saintifik-islami,  serta  pusat  informasi tentang kajian integrasi sains dan Islam yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Universitas Islam Negeri  Maulana Malik Ibrahim Malang juga telah membentuk sebuah forum yang mengkaji tentang model pendidikan integratif dan model riset yang menintegrasikan sains dan Islam.

Ian G. Barbour selaku tokoh pengkaji hubungan sains dan agama telah memetakan hubungan keduanya dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia juga berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama terhadap disiplin-disiplin ilmiah tertentu. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.


 


 

1.      Konflik

Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19 melalui dua buku berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion and Science karya J.W. Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A. D. White. [2]

Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.

Adapun alasan utama para pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains adalah sebagai berikut:

a.       Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains dapat melakukan itu.

b.      Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkrit tentang keberadaan Tuhan, sementara   dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman. [8]

Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.

Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili pada tahun 1633. [9]

Sementara disisi lain, sebahagian saintis berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipahami. Penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi sebahagian kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. [10]

Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Sains dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan klenik, sedangkan agama dapat memurnikan sains dari keberhalaan dan keyakinan mutlak yang keliru. Dengan keduanya lah (Agama dan Sains) kita mendapatkan pandangan yang lebih luas dalam membangun keilmuan masa dewasa ini. [11]

Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.


 

2.      Independensi

Satu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam kawasan yang berbeda. Agama dansains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang menurut mereka tidak perlu, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap era pemikiran ini. [12]

Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.[13]

Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama. Para saintis yang menganut pandangan independensi adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon Gilkey.

Sebagaimana dikutip oleh Ian G. Barbour, Karl Bath dan pengikutnya, menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi, yakni menurut mereka tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi.[14]

Ian G. Barbour berkomentar bahwa "jika sains dan agama benar-benar independen, kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi hal tersebut juga berefek pada memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Kita menghayati kehidupan bukan sebagai bagian-bagian yang saling lepas. Melainkan kita merasakan hidup sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda."[15]

 
 

3.      Dialog

Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.[16]

Ian G. Barbour memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.[17]

Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa agama dan sains jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dia tahu bahwa dalam dunia nyata mereka tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh pendekatatan indenpendensi. Bagaimanapun juga agama telah membantu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.[18]

Dalam diskusi-diskusi filosofis dewasa ini tentang hakikat ilmu pengetahuan, cara-cara sains dan teologi hampir-hampir tidak begitu berbeda, secara tidak langsung hubungan sains dan agama tidak lagi dalam posisi konflik dan indenpendensi. Pada pendekatan dialog ini sains tidak lagi tampak sangat murni dan objektif sebagaimana biasanya, dan demikian pula teologi tidak tampak sangat tidak murni atau subjektif.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.


 

4.      Integrasi

Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.

Ada tiga versi berbeda dalam integrasi, yaitu:

a.       Natural Theology, mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam membuat kita semakin menyadari bahwa alam ini adalah karya Allah Swt. semata.

b.      Theology Of Nature, berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Theology of Nature tidak berangkat dari sains sebagaimana natural theology, Dalam theology  of nature, ia berpendapat bahwa sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi ia juga berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam sinaran sains terkini. Karena secara khusus, doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains.

c.       Sintesis Sistematis. Integrasi yang lebih sistematis dapat dilakukan jika sains dan agama memberikan kontribusi kea rah pandangan  dunia yang lebih koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif. [19]

Mencermati pandangan integrasi Sains dan agama akan memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi Al Qur'an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.

Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail struktur organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi acak dalam proses adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi dalam anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka kemungkinan variasi detail organisme tersebut.

Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.[20]


 

C.    PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DALAM HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM

Dalam meninjau hubungan sains dan agama, Penulis akan menunjukkan pandangan keempat tipe hubungan sains dan Islam terhadap satu tema penting seputar penciptaan alam semesta menurut tesis konflik, independensi, dialog, dan integrasi.

1.      Konflik

Pandangan Konflik dihadirkan oleh kalangan Atheis yang mengatakan bahwa keseimbangan gaya pada alam semesta yang menghasilkan kondisi yang kondusif bagi munculnya kehidupan dan kecerdasan adalah kebetulan semata. Menurut mereka, manusia secara kebetulan berada di dalam sebuah alam semesta yang memungkinkan hadirnya kehidupan dan kecerdasan. Demikian pula pendapat materialis ilmiah mengenai kosmologi mengarahkan manusia kepada faktor kebetulan atau keniscayaan, bukan mengarahkan manusia kepada desain atau tujuan.[21]

2.      Independensi

Pada pandangan independensi, kalangan teolog mengklaim adanya keharmonisan antara proses kosmik dengan Kitab Kejadian. Sejarah kosmik yang menghasilkan pesona yang cerdas ditafsirkan sebagai ekspresi dari tujuan Tuhan dan sebagai manifestasi sifat Tuhan yang cerdas dan personal.

Selanjutnya pendukung Independensi mengkalim bahwa makna religius dari penciptaan dan fungsi penciptaan tidak ada kaitannya dengan teori ilmiah tentang proses fisika kosmologi yang terjadi pada masa lalu. Menurut mereka dunia tidak pula menjadi bagian dari Tuhan, atau berbeda dengan Tuhan. Sejumlah Teolog berbagi pandangan bahwa kitab suci membawa gagasan yang dapat diterima, tidak tergantung pada kosmologi sains. Sains dan agama melayani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia. Tujuan sains adalah memahami hubungan sebab-akibat diantara fenomena-fenomena alam, sedangkan tujuan agama adalah mengikuti suatu jalan hidup di dalam kerangka makna yang lebih besar. Pemisahan tersebut menutup kemungkinan adanya hubungan positif dan koheren antara sains dan agama.[22]

3.      Dialog

Pendukung tesis dialog mengatakan bahwa sains memiliki perkiraan dan pertanyaan-pertanyaan batas yang tidak dapat dijawab sendiri oleh sains. Maka untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sains itu, mereka menggunakan tradisi keagamaan dengan doktrin biblikal tentang penciptaan yang memberikan konstribusi penting terhadap kemajuan sains tanpa merusak integritas sains itu sendiri.[23]

4.      Integrasi

Pendukung tesis integrasi merespon masalah kosmologi ini dengan korelasi yang lebih dekat antara kepercayaan keagamaan dengan teori ilmiah daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis dialog. Gagasan mereka adalah bahwa Tuhan benar-benar mengontrol semua peristiwa penciptaan yang tampak oleh manusia sebagai kebetulan. Manusia dapat melihat desain proses keseluruhan di dalam kehidupan yang terjadi dengan kombinasi dan ciri proses tertentu. Keindahan bumi yang luar biasa mengekspresikan rasa syukur atau berkah kehidupan, serta bentangan ruang dan waktu kosmos yang tak terbayangkan memperlihatkan kerja Sang Pencipta yang diidentifikasi bertujuan sebagai tatanan pemikiran bagi manusia bahwa segala sesuatu terjadi menurut perencanaan yang sangat terperinci dan dalam kontrol total Tuhan.[24]

Beberapa fisikawan memandang adanya bukti desain dalam alam semesta ini. Dyson misalnya telah memberikan sejumlah contoh tentang sejumlah peristiwa yang tampaknya mengarah ke terbentuknya alam semesta yang dapat dihuni. Kemudian dia  menyimpulkan  bahwa semakin banyak dia menelaah alam semesta dan mencermati detail arsitekturnya, semakin banyak bukti yang saya temukan bahwa alam semesta dalam sejumlah pengertian telah mengetahui keberadaan kita, artinya telah desain arsitekturnya telah dicocokkan dengan kondisi biologis kita. Kaum beragama telah menggap hal ini sebagai bagian dari desain Tuhan.[25]

Setelah meninjau pandangan keempat tipe hubungan sains dan agama dalam merespon masalah penciptaan, penulis lebih mendukung dan mengakomodasi pendekatan integrasi dalam menghubungkan sains dan Islam, karena dalam hubungan integrasi ini keanekaragaman realitas yang relatif terpadu dengan Kesatuan Realitas yang Mutlak. Di mana realitas sains memiliki konvergensi dengan realitas yang diungkapkan Alquran mengenai fenomena alam dan manusia. Tanpa integritas keduanya, manusia akan terus menghadapi problematika modernitas sains di tengah pesatnya perkembangan teknologi.


 

D.     PERTEMUAN IMAN DENGAN SAINS

Ada dua dorongan yang memandu teologi Kristen sehingga dapat bertemu dengan sains, dan dorongan tersebut juga mungkin dirasakan para pemikir Islam. Dorongan yang pertama adalah dorongan yang bersifat inheren dalam iman untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam, sedangkan dorongan yang kedua adalah dorongan ajaran agama dan tujuan sains untuk menuju kebenaran.[26]

Pada dasarnya, Iman didasarkan atas pewahyuan; tetapi dengan menghargai misteri yang melingkupi Tuhan pencipta kita, iman berupaya keras untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut mengenai hubungan yang rumit  antara pencipta dan ciptaan-Nya. Dalam dunia modern, secara dramatis ilmu pengetahuan telah menunjukkan kemampuannya untuk melakukan penelitian yang progresif, yang menghasilkan kegairahan baru yang luar biasa akan pengetahuan baru. Penghargaan yang tinggi terhadap keajaiban alam yang dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan sebuah peristiwa Roh Tuhan di dalam jiwa manusia. Maka ketika iman menginginkan pemahaman yang lebih menadalam, metodologi sains telah menjadi suatu kebutuhannya untuk meningkatkan pemahaman akal ke puncak yang tertinggi.

Sementara disisi lain, ilmu dan iman adalah dua kebenaran yang memiliki karakter yang berbeda, namun walaupun demikian, agama telah menunjukkan bahwa Tuhan adalah realitas mutlak. Kebenaran tentang apapun pada akhirnya juga benar dalam kaitannya dengan Tuhan. Iman kita tidak bisa membangkitkan keyakinan apabila kita tidak meyakini kebenarannya. Karena adanya komitmen teologis yang biarpun sangat vital tetapi implisit terhadap kebenaran ini. Bagi pemikiran teologis, penelitian ilmiah memiliki daya tarik bawaan. Sebab teologi seharusnya menemukan rekan dalam laboratoriumnya.[27]

Walaupum tampaknya ada peperangan di beberapa medan pertempuran, sebuah iman yang beruapaya mendapatkan pemahaman seharusnya juga mencari perdamaian antara ilmu dan teologi. Lebih daripada sekedar perjuangan untuk mendapatkan dominasi intelektual, upaya pencarian kebenaran mendorong kita memasang mata untuk mencari merpati perdamaian di cakrawala.


 

E.    METODE MENDAMAIKAN ANTARA ISLAM DENGAN SAINS MODERN

Untuk menemukan konsep perdamaian antara Islam dan sains modern, kita perlu memandang hubungannya dari perspektif konsep Islam tentang alam dipandang secara keseluruhan dan dalam matriksnya tersendiri, sebagaimana didefenisikan Alquran. Ini tidaklah mudah karena begitu kita membawa nas wahyu ke dalam wacana kontemporer, akan segera muncul sikap-sikap yang keras dan pintu-pintu perdamaian akan tertutup.

Wacana sains dan agama di Barat dijelaskan dan terangkan dalam kerangka teologi dan sains, sekurang-kurangnya tidak dalam arus utamanya. Namun hambatan terbesarnya barangkali adanya pendapat yang menyejajarkan pandangan Islam dan pandangan fundamentalis kristenan di Barat yang meletakkan al Kitab sebagai imbangan dalam wacana hubungan sains dan agama sehingga pandangan tersebut tidak disukai di dunia akademis. Namun dengan tetap menyadari hambatan ini, kita harus berpikir tentang wacana Islam dan sains yang berakar secara murni dalam Alquran.[28]

Selanjutnya, wacana Islam dan sains juga tidak dapat mencapai kemurniannya tanpa merujuk kembali keoada tradisi saintifik Islam. Misalnya mempertanyakan apa yang Islami dalam sains Islam? Bagamana tradsi saintifik Islam berakar dalam pandangan dunia Alquran, dan apa yang terjadi dengan tradisi tersebut? Dan yang paling penting menjadi perhatian juga adalah epitomologis mengenai status Alquran dalam kaitannya dengan sains modern dan hakikat serta makna "ayat-ayat saintifik" dalam Alquran. Begitu juga tentang konsep-konsep kosmos di dalam Alquran, hakikat perbuatan Tuhan, serta hubungan Tuhan dengan makhluk sebagaimana yang didefenisikan oleh Alquran. Semua hal tersebut tidak bisa diabaikan dalam wacana tentang Islam dan Sains. Tentunya dengan mempertimbangkan itu akan memberikan tilikan tajam mengenai terbentuknya struktur dasar sains modern dan kaitan antara struktur filosofis yang mendasarinya dan pandangan dunia Islam. Hanya dengan demikian itulah kita bisa membangun model-model dan metodologi-metodologi bagi wacana Islam dan sains.[29]

Selain daripada beberapa persoalan di atas, ada banyak persoalan lain yang perlu dijelajahi. Persoalan-persoalan tersebut  mencakup seluruh isu yang berkaitan dengan etika dan syari'at dalam kaitannya dengan cabang-cabang tertentu dari sains modern seperti bioteknologi dan genetika. 

    PENUTUP


 


 

Agama dan sains dalam pentas kehidupan manusia adalah dua entitas yang berbeda sebagai sumber pengetahuan dan sumber nilai bagi kehidupan manusia. Meskipun dalam kerangka filosofis keduanya berbeda, tetapi dalam konteks historis pernah dilakukan upaya-upaya konsolidatif, baik dalam  bentuk kontraproduktif maupun dalam bentuk mutualistik untuk mempertemukan keduanya.

Banyak persoalan-persoalan fundamental dan juga yang berkaitan dengan etika dan syari'at yang harus menjadi perhatian penting bagi para ilmuan dalam membangun model-model dan metodologi-metodologi bagi wacana Islam dan sains.

Upaya konsolidatif ini dilakukan agar diantara keduanya tidak menjadi instrumen dan medium percekcokan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, tetapi sebaliknya diupayakan menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan kearifan dan kesadaran dinamis dalam diri manusia dalam hubungannya dengan alam (makrokosmos) dan dalam hubungannya dengan sesama manusia (mikrokosmos) dan dalam hubungannya dengan yang Ilahi (transcendental). Dengan demikian, baik agama maupun sains sama-sama mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran manusia.


 

 
 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA


 


 

 Bakar, Osman, Tauhid dan Sains, Esai-Esain Tentang Sejarahdan Filsafat Sains Islam,Penerjamah: Yuliani Liputo, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

Barbour, Ian G., Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002.

Buccaile, Maurice, Bible, Qur'an dan Sains Modern, terj; H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.

Haught, John F., Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, Bandung: Mizan, 2004.

Masruri, Hadi & H. Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Alquran: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama,  Malang: UIN-Malang Press, 2007.

Mulkhan, Abdul Munir, Kesalehan Multikultural: Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global, Jakarta: PSAP, 2005.

Nugroho, Wahyu, Teologi Kristen dalam Konteks Sains; Kajian Kritis atas Gagasan Arthur Peacocke", dalam Journal of Religion Issues, I:01, 2003.

Peters, Ted, dkk ed., Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama, Penerj. Ahsin Muhammad, dkk, Bandung: Mizan, 2006.


 


 

                [1] Pengantar Dr. Mohsen Miri dalam buku John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. ix.

                [2] Maurice Buccaile, Bible, Qur'an dan Sains Modern, terj; H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), hlm. 10.

                [3] Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural: Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global, (Jakarta: PSAP, 2005), hlm. 173.

                [4] Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Esai-Esain Tentang Sejarahdan Filsafat Sains Islam,Penerjamah: Yuliani Liputo, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 21.

                [5]Hadi Masruri & H. Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Alquran: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama, ( Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 123.

                [6] Wahyu Nugroho, Teologi Kristen dalam Konteks Sains; Kajian Kritis atas Gagasan Arthur Peacocke", dalam Journal of Religion Issues, I:01, (2003)., hlm. 23-43.

                [7] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 54.

                [8] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 2.

                [9] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 3.

                [10] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 55-56.

                [11] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 65.

                [12] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 9.

                [13] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 13.

                [14] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 66.

                [15] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 74.

                [16] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 74.

                [17] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 17.

                [18] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 18.

                [19] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.83-94.

                [20] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 42-44.

                [21] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 112-113.

                [22] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 117.

                [23] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 123.

                [24] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 132.

                [25] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 134.

                [26] Ted Peters, dkk (ed.), Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama, Penerj. Ahsin Muhammad, dkk, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 165-166.

                [27]Ibid.

                [28] Ted Peters, dkk (ed.), Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama, Penerj. Ahsin Muhammad, dkk, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 59.

                [29] Ted Peters, dkk (ed.), Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama, Penerj. Ahsin Muhammad, dkk, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 60.


 


 

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "MAKALAH FILSAFAT ILMU: HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM"

 
Copyright © 2015 Java Zone - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top